Barangsiapa memegang perintah-Ku dan melakukannya, dialah yang mengasihi Aku. Dan barangsiapa mengasihi Aku, ia akan dikasihi oleh Bapa-Ku. Yohanes 14:21
Mencerminkan Kasih Allah
Kita adalah cermin Allah. “Dan kita semua mencerminkan kemuliaan Tuhan dengan muka yang tidak berselubung. Dan karena kemuliaan itu datangnya dari Tuhan yang adalah Roh, maka kita diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya, dalam kemuliaan yang semakin besar” (2 Korintus 3:18). Paulus menyamakan pengalaman kristiani dengan pengalaman Musa di Gunung Sinai. Setelah Musa melihat kemuliaan Allah, wajahnya mencerminkan kemuliaan Allah. “Cahaya muka Musa begitu cemerlang, sehingga mata orang-orang Israel tidak tahan menatapnya” (2 Korintus 3:7). Sesudah memandang Allah, Musa mencerminkan Allah. Ia men- jadi seterang yang dilihatnya. Melihat terang membuatnya menjadi terang. Dengan menjadi terang, ia memancarkan terang … Apa artinya bercermin? Apakah melihat sepintas lalu? Melihat sekejap? Tidak. Melihat dengan cermat, memandangi, merenungkan. Dengan demikian, melihat kemuliaan Allah bukan melihat sepintas lalu; ini berarti melihat sambil merenungkan sungguh-sungguh. Bukankah itu yang kita lakukan? Kita berkemah di kaki Gunung Sinai dan melihat kemuliaan Allah. Hikmat yang tak terselami. Kemurnian yang tak bercacat. Tahun-tahun yang tak berkesudahan. Kekuatan yang tak terbatas. Kasih yang tak terukur. Melihat kemuliaan Allah.
Saat kita melihat kemuliaan-Nya, beranikah kita berdoa meminta supaya kita memancarkan terang itu seperti Musa? Beranikah kita berharap menjadi cermin di tangan Allah, memantulkan terang Allah? Inilah panggilan itu.